serabipapi |
Terlebih
dahulu saya akan menyapa kalian dengan kalimat
terkeren dari Walt Whitman “Sekarang saya mengetahui cara membentuk manusia
terbaik, yakni dengan tumbuh bersama alam, serta makan dan tidur di dekat
alam”.
Apakah
kalian sudah bisa meresapi kalimat keren di atas? Jika sudah, mari ikuti cerita
di perjalanan imi dalam suasana yang santai sambil ngopi bersama ribuan bintang
dalam gelap malam di dalam tenda. ahooyy
Sampai saat
ini saya tidak menyangka sudah melewati berbagai pengalaman hidup yang hanya
saya saja yang mengalami, orang lain belum tentu. Sebab pengalaman ini telah
membawa saya menuju ruang (angkasa) yang sangat mempesona dan juga mengerikan. Pertama
saya mendaki gunung, saya harus berjuang dengan cuaca yang ekstrem.
Awal tahun
2014, saya dan keempat teman kuliah akan mendaki gunung Ungaran di Semarang.
Sampai saya tidak habis pikir kenapa saya mau aja diajak teman mendaki gunung
waktu itu. Padahal saya adalah orang yang nggak ngerti apa-apa soal pendakian
ke gunung. Contohnya saja, saya mau membawa tas kantoran yang saya punya buat
membawa perbekalan pribadi saya sendiri, kacau kan. Dengan style tas kantoran,
mana bisa bertahan menghadapi alam bebas? Bisa-bisa malah saya tinggal tas
kantoran itu ditengah hutan gara-gara talinya putus satu.hahaha
Selain itu,
ketika waktu udah malem kita mencari senter buat penerangan jalan saat mendaki.
Dilalahnya kita hanya membawa 1 (satu) senter saja buat berlima, konyol kan.
Akhirnya senter itu dibawa oleh temen saya yang paling belakang. Kemudian saat
trek pendakian yang agak mengerikan, dimana sebelah kanan ada jurang, temen
saya yang paling depan langsung teriak “kanan jurang, kanan jurang” terus
dilanjutkan temen saya yang nomor urut dua, dan saya yang ketiga dan keempat
dan terakhir.
Lalu temen
saya yang paling depan teriak lagi “awas batu tengah jalan, awas batu tengah
jalan”. Sampe ketika ada akar yang melintang kaya ular saja dia teriak “awas
ada akar mirip ular, awas ada akar mirip ular”. Begitulah derita nya ketika
senter yang dibawa Cuma satu untuk berlima.
Masih di
awal mendaki. Perbekalan pakaian hangat yang saya bawa Cuma jaket motor. Yups,
saya gak habis pikir kenapa jaket motor yang saya ajak mendaki bisa bertahan
sampe puncak dengan cuaca badai. Selain itu saya hanya pake celana pendek
bebahan levis yang sulit keringnya dan badan saya hanya dibalut kaos ketat nan
tipis yang menonjolkan badan kerempeng lagi kurus khas anak kos yang jauh dari
rumah dan orangtua.
Intinya
kalau mendaki itu harus siap dengan perbekalan yang sesuai dengan keadaan.
Jangan kaya saya ketika mendaki pertama kali. Apalagi temen saya ada yang
membawa banner ukuran 2x4 m sisa acara organisasi di kampus. Pas dibawa banner
itu berat, nggak praktis alias ribet, makan tempat di tas.
Sejak
mengalami kejadian aneh saat pertama mendaki gunung, saya mulai belajar untuk
mempersiapkan diri untuk bercumbu dengan alam. Entah kenapa saya merasa jiwa
ini seolah selaras dengan alam. Antara kagum dan terpana mengalami kejadian
nyata yang saya alami saat pendakian pertama.
maioloo.com |
Bila saja
saya menolak tawaran dari teman, mungkin saya akan menjadi orang yang rugi
karena tidak merasakan namanya “naik gunung”. Itu hanya pendapat saya pribadi. Namun
setelah merasakan namanya naik gunung, saya seolah ketagihan dan ingin bertamu
ke gunung-gunung yang lainnya.
Terakir saya
akan menyematkan kata-kata mutiara dari film favorit saya yakni Into The Wild “
Ada kebahagian di hutan yang belum terjamah; Ada kegairahan di pantai yang
sunyi; Ada peradaban, dimana tak ada pengganggu; Di kedalaman lautan dan
bisingnya suara musik; Aku tak lebih mencintai manusia, tapi lebih mencintai
alam” Lord Byron.
See you on
the next adventure...
Karena sepi terdapat banyak inspirasi...
Salam Lestari...
Karena sepi terdapat banyak inspirasi...
Salam Lestari...
Belum ada tanggapan untuk "Gara-gara Anu! Jadi Kecanduan Naik Gunung"
Post a Comment