Kali ini aku
akan berbagi sedikit pengalaman tentang arti dari sebuah pendakian, dimana
gunung menjadi latar belakang tempat kejadiannya. Kan kurekam kembali dalam
balutan kertas digital dan pena tak bertinta.
Aku adalah
eksistensi yang sedang mencari intisari jatidiri. Aku tergoda membawa diri ini
jauh ke tempat asing meninggalkan zona nyamanku. Aku sadar akan ada pelajaran
dari alam. Alam yang selalu berikan pandangan keluasan di dalam kesempitan.
Ketika tanah basah seolah memberi ijin padaku untuk melewati jalan setapak tak
berpenghuni. Pohon edelwies pun menyapa kita berdua dengan wajah yang ceria. Aku
menikmati suasana seperti ini.
Hiasan dan guratan awan tebal terlihat tatkala ku memandang jauh ke langit. Lukisan awan tampak bagai peragawati yang sedang memamerkan kemolekan tubuhnya. Temanku bertanya “apakah kau lapar kawan?”. Aku menjawab “ iya aku lapar akan ketulusan seorang insan dan lapar akan kemegahan alam yang tak pernah ingkar janji” temanku tersenyum tipis, lalu kembali berjalan.
Sembari melangkah, kuselipkan kenangan ke dalam galeri ponsel yang ku simpan di saku jaketku. Bersama alam, pikiran ku tersugesti oleh keindahan-keindahan yang tak pernah pudar. Ingin rasanya ku menikmatinya setiap detik ku bernapas. Namun aku harus kembali menghadapi kehidupan, tercampur baur ditengah manusia nan serakah, kehidupan dimana kemunafikan menjadi hal yang lumrah.
Cerita ini
berlangsung selama summit atau pendakian menuju puncak dari tempat camp atau
tempat bertenda. Silahkan menikmati perjalanan imi sembari menyeruput kopi
panas bersama sentuhan kenangan...
Maret 2015
Malam ini ku terbangun di tengah hutan gunung di jawa tengah. Kesadaranku belum sepenuhnya terjaga, mataku masih sayup terpejam. Disamping sebelah kanan, temanku tak tampak lagi. Tubuhku masih berselimut kantong tidur atau sleeping bag. Ku lirik jam tangan, jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi.
Maret 2015
Malam ini ku terbangun di tengah hutan gunung di jawa tengah. Kesadaranku belum sepenuhnya terjaga, mataku masih sayup terpejam. Disamping sebelah kanan, temanku tak tampak lagi. Tubuhku masih berselimut kantong tidur atau sleeping bag. Ku lirik jam tangan, jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi.
Terdengar suara
temanku yang memanggil namaku dari arah luar tenda. Lalu bergegas melepas
kantong tidurku dan ku usap kedua mataku dengan tangan. Semalam kita berdua
sampai pada titik lelah dan memutuskan mendirikan tenda di tempat ini. Aku menyapa temanku di luar tenda dan kudapati temanku sedang asyik dengan
secangkir kopi panas sembari terselip ditangan kanannya sebatang rokok yang
hampir habis.
Dia bertanya "kapan kita akan mendaki ke puncak?". Ku jawab "sebentar lagi, aku harus siap-siap terlebih dulu". Sepuluh menit kemudian, aku sudah siap ke puncak dengan membawa ransel kecil berisi air mineral, roti, mie instan dan tak lupa jas hujan. Juga, ku pasang headlamp milikku di kepala untuk menerangi jalur pendakian menuju puncak.
Suhu udara yang rendah tak menyurutkan nyaliku untuk meneruskan perjalanan. Suasana di sekitar tenda masih gelap dan sunyi. Kita berdua akan menyusuri hutan belantara dengan cuaca yang super dingin.
Aku merasakan cuaca ekstrem. Tubuhku menggigil bak diterjang ribuan ocehan.
Desiran hawa dingin semakin menjadi. Di sebelah kananku terdapat jurang dengan kedalaman sekitar
30 meter. Nafasku semakin menggebu mengeluarkan kepulan asap putih. Bibirku
yang mengering menandakan kurangnya cairan oksigen yang kuhirup.
Ku usap
wajahku, lalu ku berjalan ke tempat yang lebih tinggi. Jiwaku terpompa untuk
mencapai puncak sejati. Terlihat temanku di belakang memberi kode bahwa dia
baik-baik saja. Selangkah demi selangkah kuayunkan kaki ini, aku berjalan
lamban dan tertatih.
synergyelitetrack.com |
Aku adalah
insan yang terpinggirkan. Aku terduduk diantara kerikil kecil dan tanah
basah, seolah aku melupakan celanaku yang akan terkotori olehnya. Ku reguh
botol berisi air yang kubawa dan kusimpan di dalam ransel kecilku. Seteguk saja
ku merasakan kenikmatan tak terhingga. Aku berguru pada air. Aku harus
bersyukur.
Sejenak ku
pejamkan mata dan membiarkan angin sibuk membasuh tubuhku. Terdengar suara
temanku yang mengunyah roti yang kita bawa sebagai perbekalan summit. Lalu ku
buka mata dan memberi isyarat untuk membagi roti padaku. Aku lapar. Sejak pukul
tiga pagi hari kita berdua memulai perjalanan menuju puncak.
Pukul lima
pagi. Matahari membuka sedikit cahaya namun banyak sekali keindahan karenanya.
Aku bergegas, bergerak, berjalan meninggalkan kenyamanan. Temanku berkata “sebentar
lagi puncak, ayo kita mencapainya”. Aku pun menatap tajam jalur pendakian, aku
harus berhati-hati dan tak mau membuat kecerobohan yang membuatku menyesal
seumur hidup.
Hiasan dan guratan awan tebal terlihat tatkala ku memandang jauh ke langit. Lukisan awan tampak bagai peragawati yang sedang memamerkan kemolekan tubuhnya. Temanku bertanya “apakah kau lapar kawan?”. Aku menjawab “ iya aku lapar akan ketulusan seorang insan dan lapar akan kemegahan alam yang tak pernah ingkar janji” temanku tersenyum tipis, lalu kembali berjalan.
Sembari melangkah, kuselipkan kenangan ke dalam galeri ponsel yang ku simpan di saku jaketku. Bersama alam, pikiran ku tersugesti oleh keindahan-keindahan yang tak pernah pudar. Ingin rasanya ku menikmatinya setiap detik ku bernapas. Namun aku harus kembali menghadapi kehidupan, tercampur baur ditengah manusia nan serakah, kehidupan dimana kemunafikan menjadi hal yang lumrah.
Sunrise |
Berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatku berdiri, terlihat
bendera merah putih berkibar diterpa angin kencang. Deru haru menyanyikan lagu
kebangsaan “Indonesia Raya” pun menusuk kalbu. Aku menepi sejenak, lalu
kusandarkan tubuhku di bebatuan untuk sekedar melepas lelah. Hampir habis semua
tenagaku, namun jiwa petualangku semakin bertambah tak berkurang.
Walaupun
matahari mulai meninggi namun suhu udara semakin rendah. Jaket yang kupakai
mendaki adalah jaket berbahan parasit dan di dalamnya full polar. Telingaku tertutup
bandana serta kepalaku sudah tertutup penuh agar bisa menangkis dinginnya udara
di puncak gunung. Aku juga memakai celana double agar hangat terasa. Tidak lupa
sepatu gunung dibalut kaos kaki terpasang dikedua kakiku. Aku masih menggigil
kedinginan.
panorama |
Mencapai
puncak tertinggi suatu gunung merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Apakah
salah jika ku berkata seperti itu? Selama pendakian aku telah melewati banyak
pengalaman yang tak mungkin orang lain alami. Apalagi aku hanya tertidur
beberapa jam saja di tenda. Disaat orang lain sedang tertidur pulas di kasur
empuk, aku dan temanku sudah terbangun dan bersiap menuju puncak. Tentunya
dengan cuaca yang super dingin. Pukul tiga pagi.
Dengan mendaki gunung, fisik dan mental akan semakin
kuat dan tangguh. Apakah anda meragukan pernyataan ku? Jika iya, coba saja anda
mendaki gunung. Mungkin aku bisa mati karena kedinginan atau mati karena
kelelahan. Tapi dengan sekuat tenaga, aku tak mau mati seperti itu. Aku yakin
jika aku mempunyai kekuatan untuk melewati tantangan dan rintangan selama
mendaki gunung.
Tatapanku berbinar tatkala bendera merah putih ku sentuh
halus dan kucium tanda rasa bangga. Saat ini aku berdiri di puncak tertinggi. Sujud
syukur tanda bahagia ku rengkuh di tanah tertinggi. Lidahku menjadi
kaku tak mampu berkata-kata, hanya memandang segala penjuru alam yang kubisa. Sungguh
indah alam Indonesiaku.
Terakhir, ku selipkan kalimat dari Edmund Hillary
“Kita tidak akan pernah mampu menaklukkan gunung, karena bukan gununglah yang
kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri”. Pendakian akan terus berlanjut.
Cerita lainnya disini...
See you in the next story and thank you for reading...
Karena sepi terdapat banyak inspiarasi...
Salam Lestari...
Karena sepi terdapat banyak inspiarasi...
Salam Lestari...
Segitu Seru nye........... sholat subuhnya lupa ya.....
ReplyDeletesholat urusan pribadi, ane ga mau ngumbar apalagi buat pencitraan...
Delete