3 Hari Terjebak di Gunung Sindoro

Aku berdiri di puncak tertinggi...
Sejak kemarin ku mulai mendaki..
Kau tak pernah tahu, aku hampir saja celaka...
Diterjang badai, kehabisan tenaga...
Aku terpana dengan pesonanya...
Hanya sebentar ku menikmatinya..

Sudah setengah tahun ini saya berkutat dengan hal-hal yang berbau materi seperti bercumbu dengan pekerjaan ataupun lainnya. Selama beberapa bulan lamanya juga saya merantau ke kota besar.

Pada pertengahan bulan Desember 2016, saya memutuskan untuk pulang kampung. Saya rindu keluarga dan teman-teman sewaktu kecil. Juga, udara segar yang berasal dari alam asri yang mengelilingi kampung halaman, dimana saya lahir.

Hanya beberapa hari saya di rumah, jiwa petualang saya muncul lagi. Berawal dari adanya informasi tentang destinasi wisata yang baru saya dengar, langsung saya mengajak temen-temen menuju kesana. Saya berhasil mengunjungi wisata baru yakni Kalibaya Park.

Setelah puas mengunjung wisata baru yang bernama Kalibaya Park, saya pikir ada yang kurang. Lalu saya menghubungi teman yang sedang merantau di Kota dan menyuruhnya untuk pulang kampung. Saya akan mengajak untuk mendaki gunung lagi. Sampai akhirnya temen saya menyanggupinya.

Saat itu terbersit dibenak saya untuk berhenti naik-turun gunung untuk sementara waktu. Bukan saya bosan ataupun lelah, saya ingin mencari hal lain yang belum saya raih. Namun hal itu buyar kala saya melihat alat-alat mendaki yang saya taruh dikamar, seperti tersenyum dan berkata “kapan aku dibawa pergi, tubuhku mulai berdebu dan aku sudah bosan berada di pojokan kamar ini”.

Inilah awal dari sebuah perjalanan.
Menjelang akhir tahun 2016 biasanya kita mempunyai rencana untuk liburan. Saya dan temen-teman pun begitu. Meski tiap rencana liburan kebanyakan gagal, akibat sering berencana namun pelaksanaannya nol besar. Padahal kita sudah menentukan hari dan tujuan liburan.

Ada satu rencana yang perlu dicanangkan jauh-jauh hari, naik gunung. Saya pikir naik gunung mempunyai daya pikat tersendiri. Naik gunung bisa membuat saya ketagihan, ketika saya memulai persiapan, lalu perjalanan, kebersamaan bersama teman-teman, dan sampai puncak gunung dan banyak lagi.

Disini saya akan bercerita perjalanan saya naik gunung ke Gunung Sindoro. Dimana lokasinya ada di Wilyah Temanggung dan Wonosobo Jawa Tengah.

3 Januari 2017
Pada malam tahun baru 2017 saya ngga kemana-mana, ngga liburan atau jalan-jalan. Namun hari ketiga atau tanggal 3 pasca tanggal baru di 2017, saya dan bersama empat teman lainnya; Dedi, Ezi, Kumam dan Walled akan berkelana alias naik gunung.

Kita berlima ngga bergabung ke komunitas secara resmi, kita ngga punya KTA (kartu tanda anggota) komunitas, kita hanya pendaki independent yang tak terikat oleh apapun. Kita hanya lima pemuda yang hobinya naik gunung. Kita menyebutnya Hiker Anpaki Independent (HAI).

Kala itu waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Kita berlima siap menuju basecamp Kledung gunung Sindoro. Oia... kita berasal dari kota yang terkenal telor asin dan bawang merah. Memerlukan waktu sekitar 4 jam lebih untuk sampai di basecamp Kledung.

Saatnya registrasi demi mematuhi aturan pendakian. Menjelang sore saya dan keempat temen istirahat dulu, istilah kerennya kita sedang melakukan aklimatisasi atau penyesuaian suhu tubuh.

Kabut mulai tebal, adzan magrib mulai terdengar. Kita segera mempersiapkan segala kebutuhan pendakian untuk malam hari. Bagi saya, pendakian pada malam hari baru kali ini saya alami, biasanya kan pagi-pagi.

Sekitar pukul tujuh malam kita sudah meninggalkan basecamp Kledung. Saya lihat kabut seperti sedang menampakkan jatidirinya, angin pun membawanya ke tiap penjuru arah. Pendakian akan tetap berjalan.

Saya memakai pakaian lengkap yakni jaket, celana, dan sepatu. Saya rasa pendakian malam hari nikmat juga. Mata saya hanya tertuju ke depan seiring sorot senter berujung. Jarak pandang hanya sekitar 5 sampai 7 meter karena tertutup kabut.

Jalur pendakian dimulai dengan melewati pemukiman warga. Kita berinisiatif untuk membeli sayuran di salah satu warga. Disini saya merasakan keramahan warga sekitar basecamp Kledung. Bahasa jawa kromo yang di gunakan bapak penjaga warung, saya menjawab dengan bahasa indonesia. Saya mengerti apa yang dikatakan bapak itu, namun lidah saya belum mahir menjawab dengan bahasa jawa kromonya.

Waktu terus berjalan, jalan makadam menjadi tumpuan kaki. Kali ini kita berlima memasuki area ladang sayuran. Saya mendengar percikan air yang digunakan warga untuk menyirami tanaman sayur.

Disini kita berlima sempat bingung. Petunjuk jalur pendakian terlihat kurang jelas. Ketika sampai di pertigaan, lalu saya menelpon contact person yang tertera di kertas jalur pendakian. Kita berlima memutuskan untuk berhenti sejenak, menunggu konfirmasi kemana jalur pendakian yang benar.

Saya kira jalur pendakian yang terdapat di peta kurang jelas, saya kurang melihat petunjuk saat di area ladang apalagi saat malam hari. Ini menjadi penyebab kita berlima berhenti berjalan.

Sepuluh menit berlalu, kita masih belum mendapat arahan yang jelas dari pengelola basecamp. Saya hanya duduk dan melihat keadaan ladang dibantu lampu senter. Lalu, handphone genggam saya bergetar disertai bunyi tanda ada pesan singkat masuk. Saya membuka dan membacanya, dilayar terlihat pesan dari pengelola basecamp. Saya membacanya, dan arahan jalur pendakian dari pengelola basecamp diperjelas dengan pesan ini.

Instruksi dari pengelola basecamp membangkitkan kita dari duduk manis beberapa saat yang lalu. Secepat tangan bertumpu ke tanah, lalu berdiri. Kita berlima melanjutkan perjalanan ini.

Vegetasi masih berupa ladang warga yang tak terlihat bila tak disorot lampu senter. Desiran kabut yang menebal semakin memperpendek jarak sorot mata senter. Saya mendengar hembusan angin mulai menyerbu telinga ini.

Satu jam lebih kita berjalan, perbatasan antara ladang dan hutan kita lewati. Waktu di basecamp saya melihat peta bahwa di Pos 1 terdapat shelter ataupun warung terdapat saat memasuki hutan Gunung Sindoro. Jalur yang kita injak masih berupa tanah bercampur kerikil.

Keuntungan pendakian malam hari yakni perbekalan dapat dihemat terutama air. Beberapa saat kemudian kita sudah sampai di shelter. Saya melihat ada tiga gubuk lumayan besar disini. Lalu saya memasukinya dan beristirahat.

Saya hanya berbaring sambil bercanda dengan teman lainnya. Ketika mendaki gunung mesti ada teman yang konyol, namun teman saya disini konyol semua kalau bercanda. Itulah inti dari sebuah pendakian, mengetahui karakter unik dari setiap teman perjalanan.

Waktu menunjukkan sekitar pukul sembilan malam. Kita berlima sepertinya terhanyut dalam obrolan gak penting dan keluar dari topik mendaki selama di shelter. Bila diingat hal itu menjadi daya tarik saat mendaki gunung.

Setelah istirahat yang lumayan lama, kita memutuskan untuk melanjutkan menapaki tanah yang lebih tinggi Gunung Sindoro. Baru mau melangkah dari shelter ada sebuah cahaya. Saya yakin itu adalah pendaki lain yang sedang menuju shelter juga.

Terlihatlah gerombolan pendaki lain menyapa kita yang mau lanjut mendaki. Terhitung sekitar 7 pendaki itu mulai menaruh tas gedenya di shelter. Saya balas menyapa mereka dan pamit buat melanjutkan perjalanan.

Jalur pendakian masih beralaskan tanah basah dengan ‘tembok’ kanan-kiri hutan pinus. Setelah itu kita menemukan jalur pertigaan. Disini kita mulai sempat bingung, sebab cuaca yang berkabut menghalangi jalur untuk menuju Pos 2. Lalu kita coba untuk mengambil jalur ke kanan dan menanjak. Apa yang terjadi? Kita malah terjebak jalur buntu dan kita memutuskan untuk turun lagi ke pertigaan tadi. Lalu kita melihat ada tulisan “jasa ojek hubungi 081xxxxxxx” di jalur arah kiri. Akhirnya kita tahu bahwa ini adalah jalur yang benar untuk menuju Pos 2.

Kita berlima sudah tahu bahwa jalur pendakian Kledung Gunung Sindoro ini ada jasa ojek sampai hutan pinus. Tarif ojek dibagi 2 yakni dari basecamp ke ujung perkebunan sebesar 15 ribu dan dari basecamp ke hutan pinus 25 ribu.

Saya rasa pendakian malam hari ada sebuah sensasi tersendiri, dimana rasa cape sedikit berkurang dibanding mendaki pada siang hari.

Setelah kita menemukan jalur  yang benar, kita lanjut lagi berjalan. Tas yang saya bawa terasa mulai berat, sebab tanjakan yang akan kita lalui lumayan bikin ngos-ngosan. Dinginnya malam semakin tak terasa ketika keringat mengucur dari kulit. Kita mencoba sekuat tenaga berjalan dengan ritme yang pelan-pelan saja.

Hutan yang dilalui kebanyakan pohon pinus, diselingi ilalang disekitarnya. Lelah kita sepertinya ada batasnya, berhenti sejenak lebih baik. Untuk menuju Pos 2 trek pendakian agak lumayan bikin cape, bonus tanjakan serta turunan masih bisa dilewati dengan berjalan santai.

Sesampainya di Pos 2 kita istirahat agak lama. Di Pos 2 ini ada sebuah gubuk gede, taruh tas ditempatnya lalu kita duduk-duduk sejenak melepas lelah. Dua gelas kopi disajikan untuk menghangatkan tubuh ini, cuaca masih berkabut. Saya liat kabut tebal mulai hilang digantikan oleh cuaca cerah namun tetap dingin. Banyak pepohonan mulai terlihat jelas.

Lima belas menit sudah kita numpang istirahat di Pos 2, sekarang saatnya menaruh tas dipunggung dan bergerak menuju titik tertinggi. Menurut saya trek pendakian gunung Sindoro ini masih terbilang cukup mudah, karena kita hanya mengikuti jalan setapak. Untuk menuju Pos 3 kita bergerak tanpa tergesa-gesa. Waktu menjelang tengah malam, namun kita masih berkutat di jalur setapak ini.

Cuaca mendung mulai berkurang, tapi gerimis datang beramai-ramai, namun kesalahan kita yakni tidak langsung pake ponco atau jas hujan, akhirnya ketika hujan datang, tas dan pakaian yang kita pake sudah basah duluan. Hujan lebat menyertai pendakian kita pada malam ini. Beban tas pun bertambah berat, langkah kaki mulai melambat.

Well, kita hujan-hujanan sampe di Pos 3 dan langsung menuju gubuk yang terdapat pendaki lain serta ada seorang bapak disana. setelah diamati ternyata bapak penghuni gubuk itu sedang berjualan dan digubuk itu banyak sekali botol minuman bekas para pendaki yang dikumpulkan oleh bapak itu, saya lupa nggak nanya nama bapaknya.

Hujan sangat deras sekali, sampe tangan ngga terasa ketika ditempelkan di atas kompor yang kita nyalakan. Jujur, badan ini menggigil kedinginan, namun kita harus menunggu hujan reda agar bisa mendirikan tenda. Ngobrol dengan pendaki lain menjadi pilihan dikala hujan tak tampak ingin berhenti mengguyur gubuk yang dibeberapa bagian ada yang bocor. Kita harus bertahan untuk beberapa lama. Snack yang kita bawa tidak luput dari hujaman mulut kita yang muIai kelaparan. Mie instan yang kita bawa pun menjadi sasaran empuk disaat kondisi seperti ini. Kepulan asap yang berasal dari tembakau berkumpul dalam gubuk yang berukuran sekitar 4x8 meter. Bapak penghuni gubuk pun hanya berdiam diri sambil menyeruput segelas teh panas yang dibuatnya.

Kaki dan tangan menjelma menjadi batu yang tak berdaya oleh sapuan dingin yang menyeruak ke dalam pori-pori kulit. Saya hanya bisa menatap atap gubuk yang terdapat titik kebocoran, dimana air menetes menuju tempat terendah. Suara sapaan dari teman yang menandakan masakan sudah matang dan siap masuk menuju perut kita yang sedang membutuhkan energi.

Sekitar satu jam kita berteduh di gubuk ini, hujan yang mulai reda yang membangkitkan gerak tubuh ini untuk mendirikan tenda. Sebelumnya kita sudah mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda, kita berlima dengan 2 tenda, tepat disamping gubuk Pos 3 kita mendirikan tenda.

Tas dan pakaian yang basah kuyup tak memupuskan kita untuk bermalam di Pos 3. Saat ini kita hanya butuh istirahat dengan membaringkan tubuh ini dan memejamkan mata. Saya bersama Dedi dan Kumam daIam satu tenda, sedangkan waIIed dan ezi ditenda satunya lagi.

Dua puluh menit berlalu, hampir saja saya lupa untuk mengganti pakaianku yang basah kuyup tak mengering. Dibukanya tas menandakan tenda disiap dihuni dengan segala isinya untuk mengisi setiap sudut ini. Kita yakin bahwa saatnya perut-perut ini perlu diisi dengan makanan bergizi.

Waktu sudah dini hari, saya menatap langit yang bergelimang bintang pasca hujan lebat menemani perjalanan ini. Bungkus-bungkus sisa makanan berserakan di luar tenda beserta alat masaknya. Mata saya hampir menyentuh batas terendah. Saya mencari selimut tebal merk luar negeri, dimana tubuhku merasa pantas berada di dalam selimut itu. Saya pun terlelap dalam ketenangan tenda.

4 Januari 2017
Pagi hari saat suara dari pendaki lain mulai terdengar di sela gendang telinga ini, saya bangun dan melirik sesaat. Dedi dan Kumam masih asik bermimpi dan memejamkan mata. Saya tergerak untuk mengeluarkan sisa cairan yang masuk semalam. Di atas tenda kita, ada tenda pendaki lain, saya pun menyapa dengan seadanya, sebab panggilan alam lebih ku utamakan.

Tangan saya masih agak membeku ditempat dingin. Kaki saya yang tak beralas mulai berjalan mengelilingi area pos 3. Saya berinisiatif untuk mengambil hp jadul dan mulai memotret apa saja yang tersaji disini.

Saya pernah mendengar kalimat “awali pagi ini dengan segelas kopi, niscaya harimu akan bahagia”. Mungkin itu hanya sebuah kampanye dari produsen kopi, biar produknya laku di pasaran. Namun hal itu menjadi sugesti positif untuk tubuh yang sedang terjalar suhu di bawah normal.

Detik demi detik saya menikmati sejuta keindahan hutan Gunung Sindoro. Berimajinasi tentang alam saja sudah membuat diri ini bermandikan sejuta kekaguman. Saya termasuk hamba yang beruntung hidup diantara alam yang sangat mempesona ini. Lamunan pun terbuyar akibat gerakan dari teman saya yang mulai menampakkan tubuhnya.

Akhirnya keempat teman sudah bangun dan memulai aktivitas khas para pecinta ketinggian. Cuaca yang berkabut dan kadang terang sudah beberapa menit dilewati. Meracik bahan-bahan makanan pun menjadi pilihan tepat disaat seperti ini. Saya dan keempat kawan masih menunggu masakan sampai siap saji. Kepulan asap tembakau pabrik masih menemani kita berlima.

Setelah ada tanda-tanda makanan mateng, kita berlima mulai sibuk untuk menyantapnya. Menu yang seadanya tak mengurungkan saya untuk menyantapnya, justru ini adalah sebuah kenikmatan. Kombinasi sayuran, nasi, dan sambal menambah selera makan. Setelah puas menyantap makanan, saya menyulut sebatang rokok pabrik yang dibeli dari toko kelontong sembari menatap cerahnya cuaca pagi ini.

Saya pikir badan masih terasa letihnya dan kaki ini jelas masih tak mau berjalan lebih jauh lagi, pun jutaan debu masih menempel tak beraturan. Saya masih duduk di pinggir tenda yang keadaan di dalam berantakan. Semalam tenda kita mengalami kebocoran dibeberapa titik, air pun tak dapat kita tolak kedatangannya.

Menjelang siang, kabut mulai menghinggapi area Pos 3, menyebabkan perjalanan ke puncak masih kita tunda. Menjemur pakaian basah menjadi aktivitas siang ini, walau kadang mentari tak sepenuhnya bertumpu di Pos 3.

Mencari spot indah dan memotret menjadi pilihan untuk membunuh rasa bosan. Kita bisa saja menembus pekatnya kabut untuk menuju puncak, namun kesiapan kita berlima masih belum menemui titik siap, maka kita urungkan untuk berjalan lagi.

Saya masih bercengkrama dengan pendaki lain yang sedang asik meracik tembakau yang didapat dari pasar tradisional. Saya pun ikut menikmatinya. Hal yang paling dirindukan dari perjalanan ini adalah ketika hal-hal remeh saat dikehidupan sehari-hari, namun disini saya dan mungkin yang lainnya akan sangat menghargainya, seperti tembakau racikan tangan ini.

Pukul sepuluh lebih tujuh menit masih diselimuti cuaca yang belum terang total, kita sudah siap-siap berkemas untuk summit. Untuk keselamatan, kita berdoa meminta kelancaran dan tanpa terjadi hal yang tidak kita inginkan. Celana saya masih belum kering dan sepatuku masih kotor dan sulit kering dalam keadaan seperti ini. Kita tinggalkan tenda ini dan satu temanku tidak ikut ke puncak; Dedi. Kita tidak memaksa untuk ikut, memang dalam pendakian unsur pemaksaan sangat dilarang.

Setapak demi setapak jalur menuju ketinggian, dan tanah basah dari sisa hujan semalam masih belum mengering. Bebatuan tajam, besar dan kecil tertumpuk tak beratuan di atas tanah jadi penguat langkah ini.

Ketika mata ini memandang Pos 4, dan terdapat batu besar dan “coretan” vandalisme seolah merusak mata yang awalnya berbinar sebab raga semakin mendekati puncak. Ini adalah tindakan buruk bagi pelaku vandalisme. Mengapa keindahan Tuhan tidak dijaga dan dilestarikan?

Dari Pos 3 ke Pos 4 memakan waktu 2 jam lebih. Santai dan tak tergesa-gesa dalam berjalan. Sebab kita tergoda oleh merahnya buah Raspberry, Blackberry dan Cecendet (Ciplukan). Memang benar istilah “Alam menyediakan kebutuhan manusia”. Segarnya buah raspberry menjadi pemicu semangat dan gairah di sepanjang perjalanan. Memanen buah raspberry blackberry dan cecendet (Ciplukan) membuat kita harus berhenti berjalan.

Setelah berhenti di Pos 4, kita melanjutkan perjalanan menembus batas vegetasi. Angin masih kencang diselingi kabut yang mendampinginya. Bau menyengat belerang mulai masuk ke sela-sela hidung saya. Masker yang saya pakai belum maksimal menghalau kerasnya bau belerang. Hujan mulai turun dikala stamina mulai kelelahan, di bawah batu besar kita berempat beristirahat dan memasak mie instan yang kita bawa sebagai perbekalan. Hujan masih belum berhenti dari sumbernya, kita bercakap ria dan bercanda untuk mengisi kelelahan. Sempat kita bertemu dengan pendaki lain yang sedang berjuang menuju puncak, namun sekarang pendaki itu belum kita temui lagi, saya rasa mereka pun sedang beristirahat juga, suara dan raganya pun tak terlihat karena terhalang oleh kabut.

Mie instan yang sudah matang menjadi santapan kita berempat ditengah hujan dan sengatnya bau belerang yang turun dari kawahnya. Badanku masih menggigil, namun saya yakin bisa melanjutkan perjalanan ini. Gemuruh suara petir bak seperti di medan perang, kita harus berhati-hati dan waspada. Saya melihat ke atas awan dan terlihat guratan sinar petir menyambar area sekitar kita berteduh. Saya berharap petir tak menyambar empat nyawa yang sedang bergelut di dalam liarnya hutan Gunung Sindoro.

Setelah membereskan alat masak, kita bersiap menempuh trek pendakian menuju puncak. Batas vegetasi hutan menjadi tumpuan selanjutnya, dan kita masih berkutat dengan pikiran masing-masing. Saya melangkah dengan tenaga yang tersisa, berharap cuaca kembali cerah.

Satu jam berjalan dari tempat istirahat tadi, kita pun kembali mengatur ritme tenaga dan kembali beristirahat sejenak diantara bebaturan. Saya menutup mata sejenak untuk mendapatkan energi baru dan kebugaran mata ini yang terasa letih. Kita berempat masih terpaku dibebatuan. Ketika suara Walled terdengar dari telinga, lalu mata saya mulai terbuka lagi. Walled bilang “ayo kita lanjutkan menuju summit” sembari bergerak dari batuan tempat kita duduk dan beristirahat. Ezi mengikuti Walled berjalan, Saya dan Kumam masih terduduk, namun mata si Kumam masih terpejam. Saya mengajak Kumam untuk melanjutkan summit, namun tak ada respon dari Kumam. Beberapa kali saya menegurnya, respon masih negatif. Si Kumam tertidur pulas di tengah badai ini, saya segera menepuk kaki dan pundaknya, karena tertidur lama saat cuaca dingin, capek dan pakaian basah akan menyebabkan hipotermia. Setelah beberapa kali tak ada respon, akhirnya si Kumam bisa membuka mata dengan tatapan kosong. Saya bertanya “kenapa kau tidurnya lama sekali” dia jawab “saya capek dan enak sekali tidurnya”. Saya bicara bahwa bahaya kalau tertidur lama seperti ini, bisa-bisa kau kena hipotermia. Si Kumam menyadari akan bahayanya. Hampir saja dia terkena hipotermia, saya langsung mengajaknya untuk bergerak ke tempat yang lebih tinggi, menyusul Walled dan Ezi.

Saya masih melangkah dalam suasana kabut pekat, suara si Ezi dan Walled menjadi pertanda bahwa mereka ada di depanku. Saya dan Kumam berjalan bersama untuk menyusul mereka. Dalam pikirku “kapan nyampe puncaknya?” ketika cuaca seperti ini, (mungkin) pendaki yang punya mental baja atau pendaki nekad saja yang berani menggapai puncak.

Saya rasa ini adalah pengalaman yang tak terlupakan dan akan abadi dalam ingatanku. Persis seperti pengalaman pertama saya mendaki gunung ke Gunung Ungaran. Dan bagaimana jika terjadi sambaran petir menimp? atau mungkin hipotermia menjangkit dalam tubuh? Saya akan menjadi seorang yang lenyap diterpa ganasnya alam yang indah dan nama saya akan dicerca karena kenekatan mendaki dalam kondisi cuaca yang tengah diterpa badai.

Napas saya mulai sesak oleh bau menyengat belerang, masker yang basah menyebabkan dilema antara melepas masker dan memakainya. Namun saya memillih untuk tetap memakainya saja walaupun basah dan napas sesak.

Satu jam setelah kejadian si Kumam hampir terkena hipotermia, suara si Ezi meraung bak raja hutan yang sedang menyiratkan keperkasaannya. Si Ezi dengan stamina yang semangat 45 mengucapkan “Puncak sindoro 3.153 mdpl”. Dia yang berjalan paling depan sudah menapaki puncak sambil mengibarkan bendera merah putih dan plang Puncak. Saya, Kumam dan Walled segera berjalan agak cepat. Jarak pandang mungkin hanya 5 meter saja karena kabut pekat. Bebatuan keras menuju puncak kita lalui dengan semangat. Tak peduli hujan dan basahnya pakaian kita walaupun memakai jas hujan.

Dan akhirnya Puncak Gunung Sindoro 3.153 mdpl berhasil kita jejaki dengan kondisi cuaca badai. Saya tak melihat dengan luas di puncak ini, sebab kabut masih pekat dan bau belerang sangat menyengat. Kita berempat hanya beberapa menit saja menikmati puncak Gunung Sindoro dan tak lupa mengabadikan momen ini. Pendaki lain yang tadi berjalan bersama kita, tak ditemui di Puncak ini, mungkin mereka ada dibawah sedang berjuang melawan diri sendiri untuk menuju puncak.

Setelah beberapa menit raga kita berada di puncak, kita memutuskan untuk turun. Saya melihat jam tanganku menunjukkan pukul dua siang. Perjalanan turun sepertinya lebih singkat dan untuk menuju Pos 3 atau tempat camping ditempuh dengan waktu sekitar dua jam lebih.

Saat perjalanan turun kita bertemu dengan pendaki lain, namun mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak. Penyebabnya saya kurang tau, karena itu merupakan keputusan mereka.
Ketika itu cuaca mulai cerah, setelah 1 jam turun dari puncak. Pun Gunung Sumbing juga terlihat megah di depanku. Saya dapat mellihat alam disekitar walaupun kabut tipis masih menghalangi pandanganku. Ilalang yang tumbuh tinggi dan subur menjadi hiasan dikala hati bahagia sudah mencapai puncak. Jauh disana deretan rumah penduduk sekitar gunung Sindoro dan Sumbing terlihat seperti deretan pecahan kaca yang diatur sedemikian rupa.

Sepatuku yang basah kuyup dan tampak seperti sepatu rusak jadi saksi bisu terjalnya trek pendakian Gunung Sindoro. 

Sekedar informasi, kita berangkat summit dari Pos 3 sekitar pukul 10 siang dan kembali lagi sekitar pukul 5 sore atau sekitar 7 jam. Menurutku ini adalah perjalanan summit yang cukup lama. Sepanjang perjalanan summit banyak sekali pengalaman dan pelajaran dari alam yang saya raih. Balik lagi ke istilah “Alam menyediakan kebutuhan manusia” baik kebutuhan jasmani dan rohani bagi manusia yang dapat berpikir.

Saya bertemu lagi dengan si Dedi yang tidak ikut ke Puncak. Dia sedang bercengkrama dengan pendaki lain dan sambil ditemani secangkir kopi panas.

Ketika sampai di tenda cuaca cerah dengan suguhan Gunung Sumbing di depan mata. Saya menyapa bapak penghuni gubuk tempat kita berteduh semalam. Beliau sedang sibuk mengumpulkan botol bekas para pendaki. Disekitar gubuk tampak deretan tenda dari pendaki lain. Bapak penghuni gubuk juga menjual beberapa kebutuhan pendaki seperti air, mie instan, roko dan lain sebagainya.

Menjelang malam gemerlap lampu dari rumah penduduk ataupun yang lainnya mulai menghiasi. Saya mencari spot untuk menikmati secangkir kopi panas dan racikan tembakau pabrik. Kita berbincang melepas lelah setelah berpacu dalam summit tadi siang.

Si Dedi memutuskan untuk turun ke basecamp. Namun kita berempat masih terlalu capek dan kita memutuskan untuk menginap satu malam lagi di Pos 3. Tenda yang kutempati semalam mengalami kebocoran dan malam ini saya tidur di tenda yang satunya. Kita berempat tidur dalam satu tenda, yang sebenarnya tenda ini diperuntukkan untuk 2 orang. Posisi tidurku tidak sempurna, karena harus berhimpitan dengan yang lain. Meringkuk seperti bayi dalam kandungan yang sempit. Mata saya belum tertutup dan masih menatap atap tenda dengan pikiran melayang membayangkan apa yang telah dilalui. Keheningan di dalam tenda berubah kala temanku membuat gurauan yang ngga jelas.

5 Januari 2017
Pukul setengah enam pagi saya sudah terbangun dengan keadaan badan yang masih terasa lelahnya. Saya bergerak keluar tenda untuk mencari air. Satu gelas airpun saya habiskan di pagi yang indah ini.

Semalam saya mendengar ada pendaki yang baru datang dari basecamp. Dan pagi ini saya menyapanya dengan menatap dan tersenyum sembari bercengkrama kecil. Kaki ini jelas terlihat kotornya, karena saya tak membawa sendal, sepatu pun masih basah. Lalu saya mencari panci dan kompor untuk membuat kopi untuk menyambut goresan pagi yang sangat indah ini. Cuaca sangat cerah sekali membuat saya terbawa arus ketenangan yang pasti akan kurindukan di kemudian hari.

Saya duduk di sekitar tenda, teman-teman saya masih belum bangun. Saya menatap jauh deretan gunung mulain dari gunung Merbabu, Merapi dan Gunung Sumbing dan sejuta keindahan disekitarnya. Inilah keindahan yang tiada terkira, ciptaan sang Pencipta sangat mengagumkan. Saya terjebak kemegahan alam Gunung Sindoro.

Saya menoleh kebelakang karena suara si Kumam yang sedang keluar dari tenda. Lalu dia mendekatiku dan duduk sambil menatap jauh ke arah deretan gunung yang sedang saya lihat juga. Tanpa banyak bicara, kita berdua beranjak dari duduk, saya menuju tenda yang satunya, dimana barang-barang bawaan ditaruh disana, sedangkan si Kumam menuju tenda tempat kita tidur semalem. Saya menengok sekilas ke tenda, si Ezi dan Walled masih berbaring dengan mata tertutup. Saya memasuki tenda dan menarik barang-barang untuk dijemur dan dirapikan di luar.

Ketika saya sedang sibuk menata barang, saya lihat bapak penghuni gubuk dan menyapanya. Saya tak tau sudah jam berapa, karena saya masih berkutat dengan barang-barang yang berserakan di dalam tenda. Saya memanggil si Kumam untuk membantu mengeluarkan barang-barang agar kita bisa segera berkemas dan menuju basecamp. Logistik kita juga sudah hampir habis hanya tersisa beberapa botol air mineral, 3 bungkus mie instan dan beberapa batang tembakau yang agak basah.

Setelah saya mengeluarkan dan menjemur apa yang bisa dijemur, saya melihat Ezi dan Walled pun sudah bangun dan keluar tenda. Kita menunggu waktu yang pas untuk turun ke basecamp, kita masih menikmati suasana indah di Pos 3. Saatnya mengisi perut yang meminta jatahnya. Memasak dengan bahan makanan yang tersisa. Kebersamaan menjadi bumbu pendakian kali ini. Setelah perut kita terisi dengan gizi, kita mencari kesibukan masing-masing sambil berbincang-bincang.

Aktivitas saya selanjutnya yakni mencari spot untuk berpofo. Setelah puas berfoto, kita mulai berkemas-kemas barang untuk turun ke basecamp

Tepat pukul delapan lebih satu menit dan disaat cuaca mulai berkabut, kita sudah siap untuk meninggalkan Pos 3 dan berjalan turun ke basecamp Kledung Gunung Sindoro. Sepanjang perjalanan, kita bertemu beberapa pendaki lain yang mau naik ke atas, kita menyapanya. Logistik yang tersisa saat ini cuma air saja yang penting kita bisa selamat menuju basecamp.

Kita berjalan sekitar 4 jam dari Pos 3 ke basecamp Kledung. Saya juga melihat Dedi sedang duduk di kursi yang ada di depan basecamp, kita menghampirinya. Lalu kita menuju Balai Pertemuan Warga Kledung yang berada di area basecamp, disana saya membaringkan badan sejenak dan mengisi baterai hp. Mata saya terbuka ketika badan ini butuh mengeluarkan cairan kotor ke kamar mandi. Saya membawa sepatu dan kaos kaki yang kotor dan mencucinya. Setelah bersih serta dijemur diteriknya matahari yang cukup panas. Lalu saya kembali ke balai warga dan si Walled sedang memasak makanan. Setelah makanan mateng, saya langsung melahap sedikit agar rakus sebab dari tadi badanku belum kemasukan gizi. Makanan habis, kemudian saya menyulut sebatang rokok pabrik yang dibeli di warung sekitar basecamp. Tidak lupa kita sajikan bersama secangkir kopi.

Saya terkejut dengan adanya suara gemuruh air yang tiba-tiba jatuh tak beraturan di atap balai desa, segera saya berlari dan menyelamatkan sepatuku yang tadi dijemur. Untungnya sepatuku sudah lumayan kering, hujan sangat deras menimpa area basecamp. Kita hanya menunggu sampai hujan reda untuk meninggalkan basecamp Kledung. Kita sudah puas dan menikmati pendakian kali ini. Menurut saya setiap pendakian mampu memberikan sebuah energi baru untuk melanjutkan aktivitas sehari-hari. Jutaan kenangan baru tercipta dan jutaan cerita akan tergoreskan dengan indah di masa mendatang.

Setelah hujan reda, kita bergerak untuk memanaskan kendaraan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Saya kira pendakian tersukses yakni ketika kita bisa kembali pulang ke rumah dengan selamat tanpa ada cedera ataupun hal yang tidak diinginkan. Bukan hanya puncak gunung yang menjadi tujuan pendakian, namun kembali berkumpul kembali bersama keluarga dirumah menjadi tujuan pendakian. 

Kumpulan foto bernyawa

Gunung Sindoro
Keberangkatan
Gunung Sindoro
Sebelum basecamp
Gunung Sindoro
Area Pos 3
Gunung Sindoro
Pagi hari di sekitar Pos 3
Gunung Sindoro
Summit
Gunung Sindoro
kabut menyelimuti batas vegetasi hutan
Gunung Sindoro
buah blackberyy
Gunung Sindoro
buah raspberry
Gunung Sindoro
buah cecendetan (ciplukan)
Gunung Sindoro
Senyum diantara kabut tebal
Gunung Sindoro
Puncak Sindoro 3.153 mdpl
Kunjungi juga cerita menarik lainnya di Perjalanan imi....

Thank you for reading and see you on the next adventure...
Karena sepi terdapat banyak inspirasi....
Salam Lestari, 3-5 Januari 2017


Hiker Anpaki Independent (HAI)

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "3 Hari Terjebak di Gunung Sindoro"

  1. Keren om petualangannya... .Om punya kontak gunung sindoro jalur kledung ga?? Bulan februari ini tutup ga ya sindoro??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih om...
      Menurut saya mending nanti aja bulan maret naiknya om...cuaca sindoro kurang baik, kabut lumayan tebel, mungkin juga badai...
      Kontaknya gak punya, kemarin langsung brgkat aja...
      Sindoro buka kayanya om..

      Delete

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "